Kompas, edisi cetak, Sabtu, 12 Januari 2008, menulis bahwa Amerika Serikat saat ini mengalami guncangan ekonomi setelah terjadi kasus gagal bayar kartu kredit dan perumahan subprime mortage (beresiko tinggi) yang mencapai US$ 7 Miliar, atau hampir setara dengan anggara belanja RI sebesar Rp 854,7 Triliun. Perusahaan keuangan terbesar seperti Merrill Lync, Citigroup, HSBC, Bearstern, dan UBS ramai-ramai mengumumkan kerugian yang mencengangkan. Salah satu contohnya adalah Citigroup (penerbit Kartu Kredit Citibank) yang menyatakan mengalami kerugian sebesar US$ 8 miliar, dan harga sahamnya anjlok 45% dari awal tahun 2007, sedangkan kapitalisasi pasarnya berkurang US$ 124 miliar.
Tetapi, seperti dirilis oleh Niriah.com, 19 Juli 2007, “dunia perbankan syariah di Indonesia” malah berbuat kontroversial. Bank Danamon misalnya, menggandeng dedengkot kartu kredit berbasis bunga, yakni MasterCard meluncurkan Kartu Kredit Syariah, Dirham Card. Peluncuran ini telah disetujui Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan fatwa persetujuan Nomor 54/DSN-MUI/IX/2006 serta surat persetujuan Bank Indonesia (BI) Nomor 9/183/DPbS/2007. Kemudian, berita dari Inilah.com, Selasa, 11 Desember 2007, juga memberitakan bahwa BNI Syariah juga telah mengajukan izin kartu kredit syariah ke BI pada 5 Desember 2007. Harapannya pemrosesan izin tidak lebih dari sebulan begitu kata Pemimpin Divisi Syariah Bank BNI Ismi Kushartanto. Meskipun kenyataannya Kartu Kredit Syariah BNI sudah dipromosikan di acara BNI-Ancol Fantastic Offer seperti diberitakan di website BNI http://www.bnicardcenter.co.id/bnicard_cr_ancol_2007.asp
Saya tidak berbicara mengenai akadnya syari’ah atau tidak…selama kita bisa berpikiran dan mengakomodasi men-syari’ah-kan segala sesuatu…semua pasti bisa syari’ah…biasanya sih syari’ah atau tidak, hanya diukur dari apakah akad tersebut sudah halal dan bebas riba. Tapi jangan teledor, semuanya belum tentu thoyib (sama seperti kasus kartu kredit yang saya kira belum thoyib).
Belum lagi kalo diukur dari standar maqashid asy-syari’ah… yaitu untuk mashlaha… apakah menggiring konsumerisme itu berorientasi mashlaha atau malahan throposentrism /egoism? Dari situ terlihat bahwa “strategi”, perbankan syariah lebih mementingkan “dirinya sendiri” dan menggiring masyarakat bernuansa “konsumtif”.
Bank syari’ah juga kelihatannya “tidak memiliki core competencies”, serta lebih bernuansa “plagiasi” . Saya juga melihat kontroversi strategi perusahaan (bank syariah) kurang melihat perkembangan model kartu kredit…contoh konritnya adalah Amerika Serikat yang hancur-hancuran gara-gara kartu kredit macet ratusan triliun.
Ya begitulah Indonesia…gak bisa berpikir alternatif dan genuine…Semoga di masa depan kita bisa berharap lebih banyak terhadap pengembangan perbankan syari’ah yang lebih genuine dan produktif…
0 komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejak anda jika merasa tulisan dan artikel ini berguna