Pada tahun 2012, IAI (Ikatan Akuntan Indonesia), lembaga yang membuat dan menetapkan Standar Akuntansi Indonesia akan mewajibkan seluruh perusahaan yang beroperasi di Indonesia agar membuat laporan keuangan yang berpedoman pada IFRS (International Financial Reporting Standard). Aturan ini mulai berlaku efektif per 1 Januari 2012. Untuk membuat PSAK (Pedoman Staandar Akuntansi Keuangan), IAI telah melakukan beberapa tahap antara lain: tahap adopsi (2008-2010), tahap persiapan akhir (2011) dan tahap implementasi (awal 2012).
Dua kekuatan akuntansi dunia
Saat ini terdapat dua kekuatan akuntansi dunia yaitu United State Generally Accepted Accounting Principles (US GAAP) dan International Accounting Standars(IAS). US GAAP adalah produk dari FSAB (Dewan Pembuat Standar Akuntansi di Amerika). Lembaga ini memiliki wewenang untuk membuat dan menetapkan akuntansi yang akan digunakan di Amerika (IAI-Indonesia). Stock Exchange Commite (Bapepam-nya Amerika) memberikan ketentuan kepada perusahaan-perusahaan yang terdaftar dalam bursa, diwajibkan untuk membuat laporan keuangannya yang berpedoman pada GAAP. Standar Akuntansi Indonesia (sebelum 2008) masih berkiblat pada US GAAP. PABU (Prinsip Akuntansi Berterima Umum) adalah terjemahan bebas dari Generally Accepted Accounting Principles (GAAP), sehingga bila diteliti lebih lanjut bahwa Standar Akuntansi Keuangan yang diterbitkan oleh IAI merupakan pengalihbahasaan GAAP ke dalam bahasa Indonesia. Jadi PSAK yang dibuat oleh IAI merupakan terjemahan dari US GAAP. Tak terasa sudah lebih dari 30 tahun (sejak tahun 1974),Indonesia telah mengikuti standar akuntansi yang dibuat oleh Amerika. Hal ini dikarenakan, banyak perusahaan lokal dalam negeri yang terdaftar sebagai anggota bursa saham di Amerika.
Kekuatan akuntansi lainya adalah IAS yang kemudian bermetamorfosis menjadi IFRS(International Financial Reporting Standard). IFRS merupakan produk dari IASB (International Accounting Standard Board). IASB adalah sebuah lembaga pembuat standar akuntansi untuk negara-negara di kawasan Eropa. Standar yang dibuat oleh IASB, saat itu (sebelum tahun 1990) belum diminati oleh dunia.bisnis diIndonesia. Hal ini karena perkembangan ekonomi Amerika masih dijadikan sebagai patokan perkembangan bisnis dunia. Pada tahun 1994, IAI baru memulai dan berkomitmen untuk mengikuti IASB dan melakukan perubahan-perubahan secara perlahan dan bertahap ke dalam PSAK.
Berarti perkembangan sejarah akuntansi di Indonesia telah mengalami masa-masa yang panjang dan sulit. Di awali dari belum memiliki standar akuntansi yang jelas, hingga pada tahun 1974 mengenal US GAAP dan menjadikan GAAP sebagai Standar Akuntansi Indonesia pada tahun 1984. Dilanjutkan pada tahun 1994, IAI mulai berkomitmen untuk mengikuti IAS. Hingga saat ini, IAI telah mempersiapkan PSAK yang berpedoman pada IFRS dan akan berlaku efektif mulai 1 Januari 2012.
Perubahan Paradigma
Akuntansi merupakan bahasa bisnis utama dalam dunia pasar modal, dimana produk yang dihasilkannya berupa laporan keuangan. Laporan keuangan yang baik adalah laporan keuangan yang dapat memberikan manfaat ekonomis bagistakeholders (pemilik, manajemen, investor, bahkan pemerintah) dan tidak menimbulkan bias dalam proses pengambilan keputusan yang bersifat ekonomis. Standar Akuntansi Indonesia (sebelum tahun 2008) yang berpedoman pada GAAP sudah tidak relevan lagi. Hal ini dikarenakan GAAP masih menganut asumsi historical cost. Dalam historical cost, aset yang dicatat dalam laporan keuangan sebesar harga yang dikeluarkan saat memperoleh aset tersebut. Namun kenyataannya, besarnya aset setiap tahun selalu bertambah sehingga asumsi mengenai historical cost sudah tidak bisa lagi digunakan. Misal, nilai perolehan aset berupa tanah pada 5 tahun lalu sebesar 100 juta. Dalam asumsi historical cost, nilai aset yang dicatat (hingga saat ini) harus sebesar 100 juta. Padahal kenyataannya tidak demikian. Nilai aset yang 100 juta tersebut, pada saat ini mungkin telah menjadi 200 juta atau 300 juta, bahkan bisa juga mencapai 1 milyar. Tentu saja hal ini akan menimbulkan bias dalam penafsiran laporan keuangan. Perbedaan nilai tersebut telah diantisipasi oleh IFRS. Konsep historical cost yang sudah tidak relevan diganti dengan fair value (yang merupakan refleksi dari market value) yang lebih relevan. Menurut IFRS, nilai aset yang dicatat bukan lagi 100 juta, melainkan sebesar harga pasar dari aset tersebut.
Perbedaan lainnya yang mendasar adalah dalam hal perolehan pinjaman. Perusahaan untuk mendapatkan pinjaman sebesar 15 juta harus mengeluarkan biaya-biaya sebesar 4 juta. Menurut GAAP, pinjaman tersebut harus dicatat sebesar 15 juta tanpa mempertimbangkan attributable cost. Padahal bila di netting-kan, pinjaman yang diterima hanya sebesar 11 juta. Menurut IFRS, pinjaman yang dicatat harus sebesar 11 juta bukan 15 juta karena ada unsurattributable cost di dalamnya.
Inilah letak perbedaan yang paling mendasar antara GAAP dengan IFRS. Laporan keuangan versi GAAP tak ubahnya hanya sebagai catatan keuangan perusahaan di masa lalu. Sehingga pengukuran kinerja perusahaan menggunakan ROA dan ROI pun juga akan menimbulkan bias. Alangkah baiknya bila pengukuran kinerja perusahaan juga mempertimbangkan fair value agar mendekati nilai pasar yang sesuai. Jadi, laporan keuangan yang berpedoman pada IFRS lebih relevan dan aktual karena mempertimbangkan harga pasar. Walaupun harga pasar bukanlah satu-satunya indikator dalam pengambilan keputusan oleh stakeholder. Paling tidak, laporan keuangan yang dihasilkan oleh IFRS lebih mendekati keadaan yang sebenarnya.
Dampak Penerapan IFRS di Indonesia
Di dunia internasional, sudah banyak negara-negara yang mengadaptasi IFRS sebagai pedoman dalam pelaporan keuangan. Bahkan ada pula negara-negara yang telah mengadopsi penuh (full adoption) yaitu menterjemahan IFRS sebagai standar akuntansi di negaranya. Seperti negara Uni Eropa, Hongkong, Australia, Malaysia, dan Singapura. Indonesia sebagai bagian dari dunia internasional, mau tidak mau harus mengikuti perubahan tersebut karena tuntutan bisnis global. Dengan mengikuti IFRS, berarti laporan keuangan akuntansi Indonesia telah menggunakan bahasa global sehingga mudah dipahami oleh pasar global. Perusahaan di Indonesia akan lebih mudah dalam melakukan transaksi lintas negara termasuk merger dan akuisisi. Telah banyak perusahaan di Indonesia yang mengalami akuisisi dan merger lintas negara. Misal, akuisisi Philp Morris terhadap Sampoerna (2005), akuisisi TPI oleh MNC TV (2009), dan ANTV oleh Star TV. Aktivitas akuisisi dan merger lintas negara bukanlah hal yang tabu pada saat ini, sebagaimana yang dikatakan oleh Thomas Friedman, “world is flat”.
Perubahan konseptual yang dialami oleh dunia akuntansi di Indonesia, tentu akan menimbulkan dampak yang bermacam-macam bagi perkembangan ilmu akuntansi di Indonesia. Menurut Ketua Tim Implementasi IFRS-IAI, Dudi M. Kurniawan (Kompas, 6 Mei 2010) bahwa dengan mengadopsi IFRS, Indonesia akan mendapatkan tujuh manfaat sekaligus. Pertama, meningkatkan standar akuntansi keuangan (SAK). Kedua, mengurangi biaya SAK. Ketiga, meningkatkan kredibilitas dan kegunaan laporan keuangan. Keempat, meningkatkan komparabilitas pelaporan keuangan. Kelima, meningkatkan transparansi keuangan. Keenam, menurunkan biaya modal peluang penghimpunan dana melalui pasar modal. Ketujuh, meningkatkan efisiensi penyusunan laporan keuangan.
Namun dalam praktiknya, menerapkan standar baru ini tidaklah mudah. Banyak pelaku bisnis yang mengeluhkan kesulitan dalam penerapan standar baru tersebut di perusahaannya. Biaya yang harus dikeluarkan untuk investasi di bidang teknologi dan informasi untuk mendukung penerapan IFRS tidaklah sedikit. Belum lagi ditambah dengan biaya-biaya pelatihan (training) IFRS bagi karyawan juga tidaklah sedikit. Sekedar informasi, biaya inventasi untuktraining IFRS berkisar antara 3 juta sampai 5 juta per orang. Tentu saja bukan biaya yang murah bagi perusahaan berskala menengah.
Pemerintah juga harus ikut berperan dalam penerapan IFRS di Indonesia. Terutama di bidang perpajakan yang berkaitan dengan revaluasi aktiva sebagai konsekuensi dari penerapan fair value. Pemerintah masih memberlakukan pajak final sebesar 10% atas transaksi revaluasi atas aktiva tetap. Dengan fair value, berarti nilai aset dihitung berdasarkan harga pasar. Ini berarti, aset-aset perusahaan akan cenderung mengalami kenaikan dan perusahaan berkewajiban membayar pajak final 10% atas revaluasi aktiva tetap. Mungkinkan perusahaan bersedia membayar pajak final, padahal tidak ada aliran kas masuk yang berarti.
Sejak tahun 2004, IAI telah melakukan harmonisasi (konvergensi) antara GAAP dan IFRS untuk mencapai daya saing global. Diharapkan pada tahun ini perbedaan antara GAAP dan IFRS dapat diselesaikan dan IFRS pun dapat diterapkan sepenuhnya.
0 komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejak anda jika merasa tulisan dan artikel ini berguna